Thursday, February 27, 2014

Catatan Pembangunan Era Reformasi

catatan pembangunan era reformasi

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Soeharto dan melahirkan era reformasi di Indonesia kemudian menjadi suatu perjalanan baru bagi Indonesia dalam menentukan kebijakan ekonomi yang dipakai. Kebijakan yang ‘berorientasi ke dalam’ maupun kebijakan yang ‘berorientasi ke luar’ menjadi bahan pertimbangan yang dirasakan oleh setiap bangsa Indonesia. Dapat dikatakan ekonomi pada era reformasi saat ini sudah mulai cukup stabil. Sistem kebijakan pembangunan di negara Indonesia sudah menunjukan perbaikan ke arah yang lebih demokratis di era reformasi. Paling tidak di era reformasi semua proses pembangunan baik pusat maupun daerah di tuntut supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya.

Kebijaksanaan yang paling menonjol, diantaranya dengan diberlakukannya UU NO. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, yang sasaran utamanya untuk menyeimbangkan dana Pembangunan antara pusat dan daerah. Dengan kebijaksanaan itu, ternyata belum dapat berhasil secara signikan dalam memperbaiki struktur produksi secara sistem. Dana yang diperlukan oleh 77.000 desa / kelurahan agar rakyat pedesaan menjadi produktif belum menjadi kenyataan. Dengan diberlakukan otonomi daerah justru korupsi yang jaman orde baru dahulu hanya terjadi di pusat, di era reformasi ini peluang korupi justru terbuka disetiap kabupaten/ kota.



Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) adalah kegagalan terbesar dalam pembangunan Indonesia, mulai dari pemerintahan masa Orde Baru hingga saat ini. KKN mengakibatkan dunia usaha dihadapakan pada “biaya-biaya siluman” dari pungutan tak resmi, yang menyebabkan proses produksi tidak efisien dan harga menjadi mahal. KKN juga menyebabkan rendahnya profesionalisme dan wibawa para pejabat negara dan mengakibatkan penegakan hukum amat sulit diterapkan di Indonesia.

Salah satu kelemahan yang mencolok di era pembangunan reformasi adalah koordinasi, konsolidasi dan integrasi yang simpang siur para pelaku pembangunan. Banyak anggaran tersedot untuk membiayai pos di kementerian, fasilitas pejabat, gaji pegawai negeri tanpa diimbangi prestasi kerja yang sepadan. Ditambah dengan demokratisasi politik yang kebablasan, salah satunya pejabat pemerintah merangkap sebagai pejabat politik. Presiden, menteri, gubernur, walikota, Bupati hingga kepala desa merangkap sebagai ketua partai atau pejabat fungsionaris partai. Kementerian menjadi pos basah bagi partai yang kadernya menjabat disitu.

Anggaran dan fasilitas negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan kerja ikut dimanfaatkan untuk kepentingan politik partai. Hal ini pula yang ditengarai sebagai sumber dari suburnya korupsi di kementerian maupun di daerah. Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah untuk menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga rangkap jabatan dibiarkan berlarut-larut sampai hari ini. Hal ini sekaligus menunjukkan belum berhasilnya reformasi birokrasi yang digembar gemborkan pemerintah.

Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin birokrasi, mulai dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga anggota Dewan, membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi kekayaan negara. Belum lama berselang, berbagai kasus korupsi seperti kasus Hambalang, impor daging sapi dan banyak lagi lainnya, diduga melibatkan partai-partai politik besar. Kejadian tersebut tentu saja semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap politik partai dan kewibawaan pemerintah pada umumnya.

Pengalaman pelaksanaan pembangunan di era-era sebelumnya sepertinya belum melahirkan pejabat yang profesional dalam pengabdiannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Diusia 70 tahun kemerdekaan, pembangunan karakter belum bisa dianggap berhasil, terlihat dari karakter pemimpin hingga rakyat jelata.

Kegagalan pembangunan karakter bukan saja menghasilkan kualitas SDM yang buruk, tapi berakibat terhadap kegagalan penerapan alat dan matlamat (tujuan). Globalisasi menghasilkan keterbukaan terhadap kemajuan dan dampak buruknya. Karakter jatidiri bangsa yang lemah akan sulit membedakan alat dan matlamat sehingga akan sulit menapis kebaikan dan keburukan setiap pengaruh yang masuk melalui teknologi, informasi, budaya, gaya hidup dari luar.

Kita mungkin sebaiknya mempelajari lagi sejarah untuk apa para pejuang-pahlawan masuk penjara kolonial dan generasi berikutnya berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan adalah gerbang emas untuk kita menuju destinasi selanjutnya, yaitu cita-cita membawa bangsa dan manusia Indonesia menuju kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran.

Catatan perjalanan pembangunan bangsa ini, seyogyanya untuk kita tetap menghormati para pemimpin bangsa terdahulu, meskipun kita boleh saja menilai bahwa kebijaksanaan pemimpin kita pernah “keliru” di masa lampau. Mari kita bersikap anggap saja kebijaksanaan itu adalah yang terbaik di jamannya, sesuai dengan tuntutan keadaan.

Selanjutnya untuk langkah kedepan, pembangunan yang sedang terselenggara saat ini, kita tidak berpandangan bahwa seakan-akan sistem yang sudah ada ini sudah yang terbaik, meskipun kecenderungan manusia, yang paling sulit adalah melakukan perubahan. 

Logikanya, kalau sistem yang berlaku di Republik ini sudah yang terbaik, tentu tidak ada rakyat yang kekurangan, karena di perut bumi kita ini apapun ada. Emas, platina, timah, besi, nikel, minyak bumi, batu bara sampai uranium juga banyak. Tanahnya subur, saking suburnya ada syair lagu yang mengatakan “tongkat dan kayu jadi tanaman”. Itu belum termasuk potensi kekayan laut yang melimpah, mengingat Nusantara adalah daerah kepulauan. 

Dari potensi besar itu kita harus tetap optimis, bahwa cita-cita para leluhur harus dilanjutkan dan diwujud nyatakan oleh generasi penerusnya, oleh kita semua, dengan catatan manakala semua pihak setuju untuk melakukan perubahan, termasuk perubahan dalam menyiasati pembangunan di desa-desa di seluruh Indonesia. 

Silahkan introspeksi bagi setiap kita yang ingin melanjutkan perjalanan kemerdekaan ini. Semua berbicara mengenai perubahan, tetapi perubahan yang bagaimana? Jangan membuat perubahan yang hanya bersifat reaktif, tetapi buatlah perubahan yang berencana, matang, arif dan bijaksana.

No comments:

Post a Comment

Printfriendly